Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Allah sebagai Tuhan semesta alam, juga
yakin akan kebenaran keberadaan para Malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, hari akhir, dan Qodho dan Qadar Allah SWT bagi setiap manusia. Pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai pengamalan atas keimanan tersebut.
yakin akan kebenaran keberadaan para Malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, hari akhir, dan Qodho dan Qadar Allah SWT bagi setiap manusia. Pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai pengamalan atas keimanan tersebut.
Iman kepada Allah SWT merupakan fitrah manusia. Artinya, pada hakikatnya seluruh umat manusia mempercayai adanya Allah SWT dan mengakui-Nya sebagai Tuhan (Q.S. 7:172). Manusia Jahiliyah pun mengenal adanya Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta (Q.S. 10:31, 43:9). Mereka menyembah berhala dengan dalih untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (Q.S. 39:3).
Menurut filosof Ibnu Rusyd[1], ada dua cara membuktikan adanya Allah:
1. Dalil Al-’Inayah (The Proof of Providence), yakni dengan melihat kesempurnaan struktur susunan alam semesta atau keteraturan fenomena alam.
2. Dalil Al-Ikhtira (The Proof of Creation), yakni dengan melihat penciptaan makhluk hidup. Manusia tidak mungkin mampu membuat makhluk binatang kecil sekalipun.
Al-Quran sendiri menunjukkan suatu metode yaitu dengan menyelidiki kejadian manusia dan alam semesta. Dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam ada tanda-tanda bagi mereka yang berakal yang memikirkannya (Q.S. 3:190-191). Manusia diperintahkan memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala yang diciptakan Allah (Q.S. 7:185). Bahkan, diri kita sendiri harus kita perhatikan untuk memikirkan eksistensi-Nya (Q.S. 51:21).
Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa mengenali dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”.
Dengan demikian, manusia akan menemukan bahwa Allah-lah Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Dia pula yang berhak disembah dan dimintai pertolongan. Dia bisa dikenali dengan pemahaman sifat-sifat-Nya[2]dan ciptaan-Nya. Manusia dilarang memikirkan tentang hakikat Dzat Tuhan, karena akal manusia tidak mungkin menjangkau-Nya. Allah adalah Dzat Yang Mahagaib.
“Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan jangan kamu berpikir tentang Dzat-Nya...”
Pengamalan keimanan kepada Allah harus diikuti dengan pembenaran atas firman-firman-Nya, yang kini tertuang dalam Al-Quran, sekaligus mengamalkan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Minimal, seorang mukmin harus membuktikan keimanannya dengan mengerjakan shalat lima waktu. Karena, dalam sebuah hadits disebutkan, pembeda antara seorang mukmin/Muslim dan kafir adalah shalat.
Dari shalat, jika dikerjakan dengan khyusu, maka akan tercipta kondisi diri yang benar-benar tunduk kepada Allah SWT. Wallahu a'lam.*
[1]Sebagaimana dikutip Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989, hlm. 131-132.
[2]Sifat-sifat Allah dikenal dengan “Asmaul Husna” atau Nama-Nama Yang Bagus, seperti Wujud (ada), Qidam (Terdahuku), Baqa’ (Kekal), Mukhalafatu Lilhawadits (Berbeda dengan yang baru ada), Wahdaniyah (Satu), Qudrat (Mahakuasa), Ar-Rahman (Maha Pengasih), dll.
0 Komentar untuk "Cara Mengamalkan Iman kepada Allah SWT"