Pendidikan agama Islam, kata Nifasri, dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sorotan banyak kalangan. Terjadinya penyimpangan-penyimpangan di masyarakat, degradasi moral, moralitas peserta didik sangat memprihatinkan, premanisme, radikalisme, maraknya perkosaan dan pembunuhan sadis, dan lain sebagainya dikarenakan gagalnya pendidikan agama dalam menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak sosial yang baik, dan memiliki pengetahuan. Terjadinya fenomena-fenomena tersebut, semua kesalahan ditumpukan kepada guru agama. Guru agama dianggap tidak mampu mengajar agama Islam dengan baik, lemah kompetensi dan penguasaan metodologinya. "Kita akui bahwa, guru agama selama ini kurang bermutu, sehingga belum mampu melakukan pembelajaran yang baik. Akan tetapi, kalau mau fair, yang salah bukan guru agama, tetapi pemerintah. Karena selama ini pendidikan agama tidak diperhatikan, regulasi-regulasi yang ada tidak memihak kepada PAI. Sehingga guru agama, mutu dan kompetensinya tidak meningkat, yang kemudian dalam praktiknya, proses pembelajaran PAI terasa menjenuhkan dan tidak mampu membuat peserta didik menyenanginya," ujarnya.
Pada kesempatan ini pula, Nifasri memaparkan hasil penelitian yang pernah dilakukannya dengan beberapa Tim terkait dengan peningkatan mutu pendidikan agama Islam di sekolah. Dalam hasil penelitiannya, setidaknya ada tiga faktor utama penyebab mengapa PAI selama ini tidak efektif di Indonesia. Pertama, faktor internal, meliputi lemahnya kompetensi guru PAI; pendekatan maupun metodologi yang dipergunakan kurang bagus, lebih mengarah pada ranah kognitif; solidaritas guru agama dan umum masih rendah; dan hubungan antara guru agama dan peserta didik sebatas hubungan formal. Kedua, faktor eksternal. Adanya sikap orang tua yang kurang peduli terhadap pendidikan agama, termasuk masyarakat, yang menganggap pendidikan agama tidak penting. Mereka menganggap belajar agama dan tidak sama saja. Hal ini diperparah dengan pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Anak akan memilih main game online daripada belajar agama. Ketiga, faktor institusional, di antaranya adalah sedikitnya waktu yang dialokasikan untuk mata pelajaran agama, hanya 3 jam; kurikulum yang overloaded; kebijakan kurikulum yang terkesan bongkar-pasang; dan minimnya sarana prasarana keagamaan.
Terakhir, Nifasri menyatakan bahwa, perhatian pemerintah terhadap mutu pendidikan agama Islam sudah lebih baik. Banyak program peningkatan mutu PAI yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, baik mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan maupun sarana prasana keagamaan. "Alhamdulillah, sekarang ini kita sudah berhasil menarik guru PAI yang tadinya di "pinggiran" sekarang sudah ke "tengah". Bahkan dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan Dikbud, GPAI selalu lebih unggul. Dan kegiatan yang kita laksanakan ini merupakan bagian dari peningkatan kompetensi. Sehingga ke depan, kami berharap GPAI menjadi pilot project, menjadi tokoh, uswah hasanah. Dalam artian tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam pelaksanaan tugas," pungkasnya.
0 Komentar untuk "Pengembangan Pembelajaran dan Penilaian Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) SMP"