Guru agama masa kini, bukan hanya berperan sebagai pengajar dalam arti yang sempit (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai pendidik (transfer of values). Disamping itu, ia harus juga memainkan peranan sebagai pemimpin, pengelola, pembimbing dan pembantu guna memudahkan proses pembelajaran pendidikan agama, atau diistilahkan sebagai leader of learning, director of learning, manager of learning, dan sekaligus facilitator of learning.
Dengan peranan tersebut, guru agama diharapkan mampu membangkitkan sikap religius siswak. Siswa diharapkan mampu merespon perubahan zaman yang terjadi, tetapi tidak terbawa arus perubahan dunia yang semakin global (Arifin, 1993).
Kritik yang sering muncul, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama di sekolah dianggap belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Guru agama belum mampu membentuk kepribadian siswa secara utuh. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus kenakalan siswa dalam berbagai bentuknya, baik di sekolah maupun luar sekolah. Meskipun kenakalan remaja tidak semata-mata disebabkan oleh pendidikan agama yang gagal, tetapi sering kali guru agama menjadi “tumpuan harapan” terbentuknya akhlakul karimah, sehingga apabila terjadi kenakalan siswa, guru agama sering menjadi sasaran. Persepsi ini tidak selamanya benar, dan juga tidak semuanya salah. Karena guru agama dianggap sebagai “penjaga moral” di lingkungan sekolah, sehingga baik buruknya akhlak siswa sering dialamatkan kepada guru agama.
Dalam perspektif pembelajaran, persoalan ini kalau ditelusuri secara seksama, sebenarnya merupakan salah satu indikasi bahwa, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama selama ini masih dianggap kurang berhasil dan belum memenuhi logika zamannya. Pendidikan agama yang diberikan telah jatuh ke dalam sekedar “pengajaran agama” yang indoktrinatif-normatif, yang hanya singgah di kepala sebentar menjelang dan saat-saat ujian dan sesudah itu terlupakan, tidak pernah masuk ke hati para siswa, dan tidak pernah dilaksanakan dalam kehidupan. Akibatnya, kenakalan siswa terjadi di mana-mana yang semakin lama semakin meningkat intensitasnya.
Persoalan lain dari keagagalan pendidikan agama adalah guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama lebih banyak menekankan pada ibadah dan syariah dan sering “mengesampingkan” pendidikan akhlak. Akibatnya siswa punya semangat beribadah dan mengerti tentang hukum-hukum agama, tetapi perilakunya banyak menyimpang. Disamping itu, pendidikan agama sering dipersepsi oleh siswa sebagai ilmu yang tidak mempunyai nilai praktis-problematis dalam kehidupan, sehingga “diperlakukan” sama dengan ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, paradigma pendidikan agama harus diletakkan dalam kerangka fungsional-kontekstual yang mampu menyentuh aspek-aspek riil siswa dengan meninggalkan model tekstual-normatif. Dengan ini diharapkan agar siswa mampu menghadapi dunia dengan terbuka, tanpa harus tergoda oleh gemerlapnya dunia yang menyesatkan.
Untuk mencapai cita-cita ini, maka guru agama harus mampu menjadikan pendidikan agama fungsional dalam kehidupan dan bersemayam dalam nurani siswa. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana upaya guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama, sehingga agama akan fungsional dalam kehidupan siswa.
Dalam menghadapi tantangan global sekaligus realitas sosial, guru agama harus mampu berperan secara otimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan mengadaptasi pemikiran Tilaar (1998), paling tidak ada tiga fungsi guru agama , yaitu: (1) sebagai agen perubahan, (2) sebagai pengembang sikap moral, dan (3) seorang guru profesional.
Pertama, sebagai agen perubahan. Dalam masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada sosok lain selain guru agama yang dapat berfungsi secara efektif untuk menjadi agen perubahan, karena guru agama langsung dapat berhadapan dengan siswa (generasi muda) bahkan masyarakat pada umumnya. Seorang guru agama yang intelek dan berdedikasi tinggi merupakan unsur yang paling terdepan dan strategis dalam membawa siswa menuju pribadi muslim yang setiap gerak langkahnya selalu bersendikan nilai-nilai religius.
Kedua, sebagai pengembang sikap moral. Secara jujur perlu kita akui, bahwa sekarang ini masalah kerjasama antar siswa mulai terabaikan. Pertengkaran antar teman terjadi di mana-mana, baik di sekolah maupun luar sekolah. Bahkan kalau tidak diantisipasi secara dini, tidak mustahil muncul pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan minum-minuman keras di lingkungan sekolah. Dalam kondisi yang demikian, peran guru agama sangat diperlukan untuk menanamkan sikap saling pengertian dan tolerasi terhadap sesama siswa. Disinilah diperlukan hubungan antar siswa yang “dewasa”, artinya perlu ditumbuhkan sikap saling menghargai perbedaan dan kekurangan di antara sesama siswa tanpa memandang perbedaan klas sosial, agama, suku, ras, dan asal usulnya.
Untuk itu, sesuatu yang harus ditanamkan guru agama kepada siswa adalah sikap moral sebagai berikut: (1) tolong-menolong dalam berbuat kebajikan, (2) khusnudhon (baik sangka) kepada semua orang, (3) menghargai diri dan orang lain, (4) menerima tanggungjawab bagi perbuatan yang dilakukan sendiri, (5) positif terhadap guru, orangtua, dan teman sekelas, (6) menjaga milik sendiri dan menjaga milik teman lain, (7) ketepatan waktu belajar dan mengerjakan tugas pelajaran, dan (8) jujur, adil, dan bijaksana kepada diri sendiri dan orang lain (Al-Maududi, 1983).
Ketiga, seorang guru profesional. Guru agama adalah salah satu guru pada suatu institusi pendidikan. Dia dianggap profesional, bilamana memiliki daya abstraksi dan komitmen tingkat tinggi (Glickman, dalam Bafadal, 1999). Dengan kata lain, guru agama dikatakan profesional kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan memiliki komitmen yang tinggi untuk mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya. Seorang guru agama yang profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing and do it right). Konsekuensinya adalah dia harus selalu mengembangkan tingkahlaku dan tindakan strategis yang cermat dalam upaya membangunbiah islamiyah dan uswah hasanah di lingkungan sekolah. Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan cerdas. Bekerja keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakan tugas secara sungguh-sungguh, cepat dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan pertimbangan peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus mampu membaca “tanda-tanda zaman”, artinya apa yang dikerjakan mempunyai nilai strategis untuk masa kini dan yang akan datang dalam upaya pembentukan jiwa religius siswa.
ndidikan agama, sehingga agama akan fungsional dalam kehidupan siswa.
Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, maka guru agama harus mempunyai seperangkat kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, ketrampilan, dan nilai sebagai berikut: (1) bahwa seorang guru agama mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia dapat membimbing siswanya yang sedang dalam tahap perkembangan fisik dan moralnya, mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kuat dan seimbang, dan mempunyai visi tentang etika tingkah laku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat; (2) bahwa guru agama dituntut untuk mampu membawa siswa memasuki dunia ilmu dan teknologi yang terus berkembang, sebab apabila guru tidak menguasai ilmu dan teknologi yang kuat, mustahil hal itu dapat dilakukan; (3) bahwa penguasaan metodologis bagi guru agama sangat diperlukan untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan prakarsa belajar agama siswa; dan (4) bahwa seorang guru agama harus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan dengan mengikuti perkembangan ilmu, teknologi, dan seni, karena ilmu pendidikan dan kependidikan serta perangkat pendukungnya terus berkembang pesat seiring dengan berkembangnya masyarakat menuju globalisasi dan informasi (Dimyati, 1999).
Apabila guru agama dapat memenuhi semua harapan tersebut,  maka tidak mustahil pembelajaran pendidikan agama akan memberikan hasil yang optimal, yang pada akhirnya mampu membentuk kepribadian muslim siswa. Dengan demikian, budaya-budaya negatif yang muncul di sekolah dapat ditekan seminimal mungkin. Semoga kita selalu diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah swt. dalam menjalankan tugas mulia sebagai guru agama. Amiin 3X yaa rabbal ‘alamin.
0 Komentar untuk "TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB GURU AGAMA DI ERA GLOBALISASI"